Selasa, 12 Februari 2013

Asma inti bumi

ASMA INTI BUMI
1.Bismillah
2.Syahadat
3.Shalawat
4.Ya qowiyu ya matin
5.Waidza bathostum-batostum jabarin...
6.Allahu akbar
 
 
 
 
sumber:blog nur ilahi

Asma langit

ASMA INTI LANGIT
1.Bismillah
2.Syahadat
3.Shalawat
4.Ya kariem ya wajid
5.Ya 'aliyyu ya adzhim
6.Innama amruhu...
7.Innalillahi...
8.Allahu akbar


sumber:blog nur ilahi

menembus alam astral

Caranya adalah sbb……
Anda Tenangkan dulu pikiran anda sebelum memulai semadi…..mungkin bs selonjoran dulu kakinya….setelah itu tarif napas dalam dalam…..lepaskan…..lakukan seterusnya sampai pikiran dan perasaan benar benar merasa Tenang………krn yg namaya Ketenangan Pikiran benar benar di perlukan dalam ilmu ini……

Setelah Tenang lalu ambil sikap semadi…….Pejamkan mata……
Lalu fokus pandangan mata pada Cakra Ajna….atau pada Tengah Tengah di kedua mata kita atau di pangkal hidung……..pokoknya fokus pada situ….pada Cakra Ajna…….
Setelah sudah fokus……bacalah mantra doa nya…..SEBANYAK BANYAKNYA DAN SEIKHLASNYA……..jangan di hitung…..dibaca dg lembut didalam hati…….
Adapun Doa Mantra yg di baca adalah
LADZINU FATAHILLAH NU ATI WA MUN
dibaca sebanyak banyaknya…..seikhlasnya dan jangan di hitung….krn kita tdk boleh fokus pada hitungan….tp Fokus pada Pandangan mata di Cakra Ajna dan Fokus pada Doa Mantra yg di baca DALAM HATI……
Terlihat simple dan mudah bukan? tp perlu yg namanya konsentrasi tingkat tinggi…………
Setelah dilakukan semua itu…apa yg mesti dilakukan?

ANDA TETAP FOKUS…….DAN LIHATLAH APA YG ANDA LIHAT…….
Jika terlihat sinar sinar tertentu……….teruskan saja……krn bukan itu yg dicari.
Jika terlihat lafal lafal tertentu………teruskan saja………krn juga bukan itu yg diari.
Jika anda di perlihatkan alam tertentu…..itu juga bukan tujuan….teruskan saja…….
Jika anda serasa melihat ka’bah….teruskan saja…..

tapi kalo sudah melihat bayangan tubuh anda saat semadi……NAH SAAT ITU ANGKAT KE ATAS……HINGGA TERLIHAT SEOLAH OLAH KITA ADA DI ATAS TUBUH KITA…..
JADI YG KITA LIHAT ADALAH BAGIAN KEPALA KE BAWAH……
Saat itulah cakra mahkota kita sudah terangkat……………ketika sudah dalam posisi demikian sudahi semadi Anda…….
Kunci di sini adalah NIAT…………..
Ketika Sudah Selesai…..sekarang saatnya Tes……Coba Niat melihat apa atau terserah……lalu uji kebeneranya…….

Nah setelah kemampuan melihat tanpa batas sudah terasah…….
Sekarang coba…..
Ambil sikap semadi…………Niatkan utk melpaskan Sukma Kita…………dg bacaan tsb…….

Adapun manfaat dari semua amalan amalan tsb ada banyak sekali….terutama yg berhubungan dg kemampuan batin.
1.Utk melihat tanpa Batas.
2.Utk meraga sukma.
3.Kepekaan batin makin bertambah.
4.Mempertajam intuisi.
5.Mudah dapat Sasmita.
6. dan lain lain yg berhubungan dg indera ke-enam

NB : dalam membaca doa mantra tsb alangkah lebih cepat jk saat baca dlm hati……di sertai DENGAN TAHAN NAPAS……..kalo tdk kuat lepaskan…..tenangkan…..dan ulangi…….
tp jk anda merasa tdk nyaman dg tahan napas ya tdk apa apa……..tp lebiih cepat jk disertai dg TAHAN NAPAS…….
UTK WAKTU PELAKSANAAN……bebas……..Tempatnya juga Bebas…….yg penting bs tenang.

Bagi anda yg mempelajari……yang terpenting di sini adalah Sabar dan Ikhlas……
Semoga berhasil dalam pengamalan bagi amalan ilmu ini….besar harapan saya semoga bs Tercapai apa yg di Diinginkan…..
Ingat……Kuncinya adalah Niat….Entah itu Terawangan Atau Raga Sukma…atau kembali lagi ke raga saat Raga Sukma

mahabbah umum

BISMILLAHIRROHMANIRROHIM
WA ARSALNAHU ILA MI’ATI ALFIN AU YAZIDUN
313 x selama 3 atau 7 hari. Diwirid usai sholat subuh. Silahkan dicari jumlah hari yang menurut anda paling mantap. Tidak perlu puasa. Boleh dimulai hari apapun.
Khodam amalan ini adalah Malaikat penjaga surah QS As Saffat yang akan membantu Anda membuka aura pengasihan sehingga dicintai dan dihormati banyak orang hingga ribuan orang atas ijin Allah Ta’ala.
Alhamdulillah dengan ilmu ini banyak manfaat positif yang saya peroleh untuk pengembangan pribadi saya. Misalnya yang dulunya saya introvert, pemalu, dan cenderung memilih menyendiri tapi setelah mengamalkan ilmu ini maka saya menjadi pribadi yang percaya diri. Bisa menempatkan diri mana yang harusnya saya tampil dan mana yang harusnya saya bisa mengerem untuk tidak tampil.Ijazah selesai dan sempurna tanpa ada apa-apa lagi yang saya tutupi. Tidak ada kunci amalan apapun. Terima kasih




sumber:wongalus
Kemampuan raga sukma bisa digunakan untuk mengambil, menarik dan menyedot benda bertuah.
Caranya sebagai berikut: Datangi tempat yang dianggap ada benda bertuahnya dan lakukan raga sukma dengan duduk bersila atau berbaring. Saat raga sukma, lakukan tes mengambil/menyedot benda-benda bertuah dengan cara :
 Jalankan ruh Anda berjalan ke tempat yang dirasa ada benda bertuahnya. Perasaan kita saat meraga sukma sangat tajam. Pengalaman saya, saat berjalan itu kemudian saya berhenti di sebuah kuburan terdekat. Selanjutnya, buka kedua telapak tangan dan baca kalimat ini: LA HAULA WALA QUWWATA ILA BILLAH berkali-kali dengan emosi agar benda bertuah itu segera datang ke diri kita seperti kita memanggil teman. Tunggu sesaat. Maka benda bertuah akan menempel ke tangan kita atas ijin Allah SWT.
  Saat saya berada di luar kuburan saya memanggil benda bertuah ini, yang datang adalah sebuah maesan (nisan) tua yang keramat. Maesan yang terbuat dari kayu tua ini sudah berusia ratusan tahun dan bisa digunakan untuk memanggil dan berkomunikasi dengan makhluk halus kapanpun saya minta. Maesan itu melayang mendekat kita perlahan lalu menempel seperti magnet di telapak tangan sehingga bisa saya pegang. Saat bacaan saya hentikan, maesan itu kemudian tidak bergerak lagi.
 Kemudian bangunlah, maka benda bertuah itu sudah ada di dekat kita berbaring. (Bila benda bertuah itu tidak ada di dekat kita, berarti pada saat meraga sukma benda bertuah yang dicurigai ada di satu tempat tersebut memang tidak ditemukan). Silahkan diuji. Amalan ini sudah saya buktikan dan ternyata hasilnya luar biasa. Mudah bukan? Jadi sekarang, Anda tidak perlu kagum/heran pada mereka yang diangap memiliki kemampuan paranormal dan bisa mengambil atau menyedot benda bertuah  sebab Anda sendiri sekarang memiliki kemampuan itu. Ya, kita semua manusia normal yang atas perkenaan Allah SWT memang telah diberi kemampuan-kemampuan supranatural seperti ini. 

sumber: wongalus

sholawat dari habib hasan ahmad baharun

Tawasul kepada: Rasulullah, Nabi Sulaiman, Nabi khidir, Khulafaurrasidin Abu Bakar – Umar – Ustman – Ali, Malaikat Muqorobin jibril – mikail – Isroil – Isrofil, syekh abdul qodir al jailani, syekh abil hasan asy-syadziliy, syekh ahmad ali al bunni, habib ali bin abubakar as sakran, habib alwi haddad, Habib Hasan Ahmad Baharun, sunan kalijogo, sunan bonang, sunan gunung jati, org tua kita, Man ajazani
Artinya:
Ya Allah Ya Tuhanku
Limpahkanlah sholawat ta’dhzimMu
Atas Junjungan Maulana Muhammad
Sebaik-baik makhluk ciptaanMu
Sholawat yang dengan keberkatannya
Engkau selamat sejahterakan kami
Juga ahli keluarga kami, anak-anak kami
Kaum kerabat kami, orang yang kami cintai
Guru-guru kami, murid-murid kami
Rekan taulan kami, tetangga kami
Engkau selamat sejahterakan
Segala rumah kediaman kami, masjid kami
Ma’had kami, madrasah kami,
Ladang kami, pejabat tempat kerja kami,
Sekalian tempat kami dan segala harta-benda kami,
Dari bahaya gempa bumi dan pergerakannya
Dari bahaya hujan, angin, petir dan sebagainya
Dari bahaya kereta, kapal terbang, kapal laut dan lain kenderaan
Dari bahaya wabak, bala bencana, malapetaka dan seumpamanya
Dari bahaya jin, manusia, hewan, thoghut, syaitan dan tipuannya
Dari bahaya jatuh, binasa, terbakar, tenggelam dan segala musibah
Dari bala` pada urusan agama, dunia dan akhirat
Kabulkanlah Ya Ilahi
Demi tuah Junjungan Nabi Pilihan al-Musthofa
Limpahkanlah juga sholawat
Ke atas ahli keluarga dan para sahabat baginda
Bersama-sama salam kesejahteraan yang sempurna
Mudah-mudahan sholawat ini dijadikan wasilah untuk mengajukan permohonan bagi kesejahteraan diri, ahli keluarga, harta benda dan kaum muslimin sekaliannya dari segala bala bencana, malapetaka, kemalangan, wabak penyakit, kezaliman bahaya hujan dan sebagainya.

Sebelum dan sesudahnya saya minta mohon maaf lahir bathin apabila ada kata-kata yang kurang dalam teks ini mohon ralatnya, ijazah ilmu sholawat ini saya dapat dari masa sekolah Aliyah dari almarhum guru saya. @@@

Minggu, 10 Februari 2013

tentangakhlaq

Ajaran Budi Pekerti

Suluk Gita Prabawa menceritakan seorang anak raja yang bernama Gita Prabawa dengan ditemani seorang abdi yang setia yang bernama Darma Gandhul yang tak kalah jeleknya. Setelah bertapa pangeran itu menjadi orang yang sangat pandai berdebat, pandai menulis dan pandai berhitung , tanpa guru.

Pangeran lalu minta ijin ayahnya untuk berkelana mencari lawan untuk berdebat mengenai kawruh kasunyatan “ilmu kasunyatan” dan tentang hakikat Jalu Wanita (pria dan wanita), kelakuan dalam Asmara gama dan terjadinya benih manusia, akhirnya  Gita Prabawa mendapat lawan yang tangguh yang bernama  Dewi Pujiwati.

Dalam Suluk Gita Prabawa banyak terkandung pendidikan / ajaran budi pekerti yang luhur, dan menurut kaitannya dengan tahap-tahap syariat, tarikat, hakekat dan makrifat. Dalam suluk tersebut yang ada kaitannya dengan empat tahap perjalanan manusia menuju kesempurnaan antara lain sebagai beriku :

Wejangan Gita Prabawa

Darma Wasesa Kang winarna, langkung kagyat denira aningali, Gita Prabawa dene mlebu, marang guwa Siluman, pakartine Pujiwati sang Retna Yu, Darma Wasesa aturira, dhuh dhuh sampun den lampahi.

Terjemahan :

Diseritakan darma Gandhul, sangat terkejut melihat, Gita Prabawa masuk ke dalam gua siluman, itu perbuatan Sang Retna Ayu (Pujiwati), Darma Gandhul berkata, aduhai jangan dilakukan.

Dika manjing ing jro guwa, datan wande yen keneng kyeh bilai, langkung samar weritipun, ing ngriku pangalapan, kayangane sagungipun pra lelembut, Pujiwati kinuwasa, linulutas pra dhedhemit.

Terjemahan :

Tuan masuk ke dalam gua, pasti mati, sangat berbahaya, karena angker, disitu tempat tinggal para lelembut, Pujiwati yang diberi kekuasaan, dicintai para lelembut.

Niku tukang pangalapan, yen wus kapal tanpa daya samenir, yen dika kalebeng ngriku, tan wande ketiwasan, boten wonten ingkang kawula tut pungkur, yen paduka tekeng pejah, kawula kantun pribadi.

Terjemahan :

Itu sering membuat orang kalap, kalau sudah kalap tanpa daya sedikitpun, jika Tuan sampai masuk ke situ, pasti mati, tidak ada yang hamba ikuti, jika Tuan sampai mati, hamba tinggal sendiri.

Mendah dukane kang rama, Prabu Garbasumandha tembe wuri, Ki Gita Prabawa ambekuh, aywa kuwatir sira, lara pati iku dudu darbe ingsun, ing lohkhil makful wus ana, bilai lara lan pati.

Terjemahan :

Alangkah marahnya ayah anda Sang Prabu Garbasumandha nantinya, Ki Gita Prabawa mendengus, jangan kuwatirkan aku, mati hidup itu bukan kepunyaanku, di lohkhil makful sudah ada, celaka, sakit dan mati.

Ki Darma wasesa tur ira, mila amba kumapurun mambengi, saking sanget tresna ulun, darbe guru bendara, sampun ngantos manggih susah lara lampus, Gita Prabawa asru ngucap, apa sira wedi mati.

Terjemahan :

Ki Darma Gandhul berkata, hamba berani menghalang-halangi, karena rasa cinta kasih hamba, mempunyai Tuan dan Guru, jangan sampai mendapat susah, sakit atau mati, Gita Prabawa berkata dengan keras, takut matikah kau?.

Ki Darma wasesa tur ira, pejah nika tankeni denajrihi, gumantung karseng Hyang Agung, nanging tindak kang yogya, mangka ulun incen guwa peteng nglangut, pepadhas curine kathah, ting caringih mbilaeni.

Terjemahan :

Ki Darmo Gandhul berkata, mati itu tak boleh ditakuti, bergantung kehendah Hyang agung, tetapi untuk perbuatan baik, padahal hamba intip gua itu gelap sekali, padasnya runcing-runcing dan berbahaya.

Tur rupek peteng asamar, manjing guwa punapa kang denambil, tur gandane dahat arus, yekti kathah kang wisa, lamun dika anedya lumebeng ngriku, lepat pejah kenging wisa, tur wisa kang mbebayani.

Terjemahan :

Lagi pula sempit gelap berbayaha, masuk ke dalam gua apa yang diambil?, lagipula baunya amis, pasti mengandung bisa, jika Tuan bermaksud ke situ, pasti mati terkena bisa, dan bisa yang berbahaya.

Temah pejah siya-siya, tetep lamun janma bodho kepati, nir bobot lan timbangipun, suwawi kondur enggal, lamun lajeng sayekti yen manggih ewuh, manah ngong amelang-melang, tarataban ketir-ketir.

Terjemahan :

Akhirnya mati sia-sia, sungguh manusia yang bodoh, tanpa pertimbangan apa pun, mari pulang saja, jika diteruskan pasti akan mendapat bahaya, hati hamba sangat khawatir.

DALAM bait-bait tersebut, jelas dilukiskan bahwa seseorang yang mengabdi harus bertanggung jawah atas segala yang akan menimpa tuanya, memperingatkan tuannya jika akan berbuat salah, memberi nasihat jika berguna bagi keselamatannya, bahkan rela berkorban jiwa demi tuannya.

Janma Tan Kena Ingina

Gandanira apek pengus, kyai guru tan kuwawi, mambet ganda tan eca, mengo sarwi tutup lathi, idu riyak pulaeran, wenenh watuk sarta waing.

Terjemahan :

Baunya sangat tidak enak, kyai guru tidak tahan mencium bau tak enak itu, menoleh sambil menutup mulut, meludah sambil batuk serta bersin.

Sakabat kang aneng ngayun, sumingkire aneng wuri, nireng guru katri mira, waspada denira meksi, ing warnane janma prapta, mesum sayub cahya nya nir.

Terjemahan :

Sakabat yang ada dimuka, menyingkir di belakang ketiga gurunya, waspada memperhatikan, wujud orang yang datang, mesum suram tanpa sinar.

Seret denira anebut, astagafiru’llah ngalim, a’udubilahi minha, lagi iki sun udani, janma urip aneng donya, warnane tan lumrah janmi.

Terjemahan :

Tersendat mereka berucap, Astgafirullah ngalim, a’udubilahi minha, baru sekali ini aku melihat orang di dunia rupanya tidak umum.

Mengo ngucap muridipun, lah padha delengen kuwi, janma ingkang murang sarak, kurang wuruk mring agami, uripe ana ing donya, cilakane anemahi.

Terjemahan :

(Guru) menoleh berkata kepada muridnya, nah lihatlah, orang yang kurang ajar, kurang pengetahuan agama, hidupnya di dunia pasti celaka.

……….., patut dudu anak jalmi, anak wewe lan janggitan, Abduljabar nambung wengis.

Terjemahan :

……….., pantasnya bukan anak orang, anak wewe dan jangitan, Abduljabar dengan bengis menyambung.

Iki ta apa lu-ilu, lawan antu bangsa dhemit, utawa bangsa wa-uwa, kang manggon tengah wanadri, Abdulmanap aris mojar, lamun ing pembatang mami.

Terjemahan :

Apakah itu ilu-ilu dan hantu semacam dhemit, atau bangsanya wa-uwa yang hidup di tengah hutan?, Abdulmanap dengan halus berkata, kalau perkiraanku.

Bangsa uwil-uwil patut, kang uga thong-thongbret nami, Gita Prabawa mireng sabda, …………

Terjemahan :

Bangsa uwil-uwil, yang juga disebut thong-thongbret, Gita Prabawa mendengar kata, …………..

Yen ngono sira iku, nora pantes rembugan lan aku, awit sira wong munapek sun arani, durkaha marang Hyang Agung, lamun aku gelem tudoh.

Terjemahan :

Kalau begitu engkau itu, tidakpantas bicara denganku, sebab engkau orang munafik, berdosa kepada Tuhan, jika aku mau memberi tahu.

Pratingkahe laku dur, amuruki jawabe wong climut, nora wurung katularan awak mami, nadyan tan muruki, ingsun tan gelem sandhingan ingong.

Terjemahan :

Perbuatan jelek, mengajari jawaban orang curang, tidak urung akan ketularan juga diriku ini, meski aku tidak mengajari, duduk  berdekatan juga tidak mau.

DALAM bait-bait tersebut tercermin bahwa seseorang yang  merasa dirinya orang suci, pandai dalam ilmu menghina orang lain dengan seenaknya sendiri. Padahal dalam ajaran agama hal seperti itu tidaklah dibetulkan. Orang hidup harus saling harga-menghargai satu dengan lainnya tanpa memandang rupa, kekayaan, pangkat dan derajat. Dalam bait itu disebutkan ada tiga orang guru mengaji yang telah katam dalam ilmu agama, ternyata mereka menjadi takabur dengan ilmunya itu, sehingga menghina dan merendahkan orang seenaknya dan mengatakan bahwa orang-orang semacam diri merekalah yang kelak masuk surga firdaus.

Mring batal karam angrengut, sira sengguh kalal sakehipun, nadyan iwak celeng asu lawan babi, angger doyan sira kremus, nora wedi durakeng don.

Terjemahan :

Padahal yang batal dan haram geram, engkau kira halal semuanya, baik itu ikan babi hutan, anjing dan babi, asal engkau mau kau makannya, tidak takut akan durhaka.

Ki Gita Prabawa muwus, iku bener nggonira amuwus, nora luput nadyan iwak asu yekti, sun titik kamulanipun, dudu asu nggone nyolong.

Terjemahan :

Ki Gita Prabawa berkata, semua katamu benar, tidak salah meski ikan daging anjing sekalipun, jika diketahui asal mulanya, bukan anjing curian.

Deningu wiwit kuncung, lahta sapa wani ganggu-ganggu, luwih kalal saking iwak wedhus pitik, yen asale iwak wedhus, saka nggone anyenyolong.

Terjemahan :

Dipelihara dari kecil, nah siap berani mengganggu, lebih halal daripada ikan kambing dan ayam, jika asalnya ikan kambing, asalnya dari mencuri.

Sanadyan babi tuhu, ingsun titik ing kamulanipun, lamun ingon dhewe wiwit isih genjik, luwih kalal saka wedhus, nadyan iwak celeng yektos.

Terjemahan :

Meskipun babi, aku teliti asal mulanya, jika piaraan sendiri sejak kecil, lebih halal daripada ikan daging kambing, meskipun ikan babi hutan.

Kalamun antukipun, nggone mburu dhewe mring wana gung, dudu celeng colongan kalale luwih, saking ulam mesa lamun, asale nggone anyolong.

Terjemahan :

Jika didapat, dari beburu sendiri didalam hutan rimba, bukan babi hutan curian lebih halal, daripada daging ikan kerbau, yang asalnya dari mencuri.

Pan luwih karamipun, saking ulam celeng sarta asu, lan mangkono ngibarate kawruh jati, guru tiga ngucap, ……………

Terjemahan :

Itu lebih haram, daripada ikan babi hutan dan anjing, nah itulah ibaratnya ilmu jati, ketiga guru berucap, …………..

Gita Prabawa saurira, kadi paran nggon ingsun nampik milih, wus pinasthi ing Hyang Agung, sakehing karusakan, kabeh iku dadi darbeke wong lampus, dne sakehing kamulyan, dadi duweke wong urip.

Terjemahan :

Gita Prabawa menyahut, bagaimana aku harus menolak atau memilih?, sudah dipastikan oleh Tuhan, segala kerusakan itu, semua milik orang mati, dan segala kemuliaan, menjadi milik orang hidup.

Yen wong gesang iku susah, metu saking tekenane pribadi, ingkang karya susahipun, dening Hyang Mahamulya, sipat murah adil kukuh darbekipun, nanging kabet sipat samar, tan ana tinuting lair.

Terjemahan :

Jika orang hidup itu susah, berasal dari tanda tangannya sendiri, yang membuat susahnya, oleh Tuhan Yang Mahamulia, sifat murah adil dalam hukum, tetapi semua sifatnya samar-samar, tidak ada yang tampak dalam bentuk lahir.

Gita Prabawa malih mojar, adoh-adoh ingkang sira rasani, suwarga naraka, saiki wus gumelar, sapa ingkang luwih mulya uripipun, ya iku munggah suwarga, sapa apes dennya urip.

Terjemahan :

Gita Prabawa berkata lagi, jauh-jauh yang enkau sebut, surga dan neraka, sebutulnya sudah terpampang, barang siapa hidupnya mulia, yaitu naik surga, barang siap sengsara hidupnya.

Lamun sukmane wong Islam, anetepi salat limang prakawis, lan betah pangajinipun, anderes kitab Kuran, anetepi sahadat lan jakatipun, puwasa wulan Ramelan, tinarima mring Hyang Widhi.

Terjemahan :

Jika ruh orang Islam, yang mentaati salat lima waktu, dan tahan lama mengaji, membaca Qur’an,  menetapi sahadat dan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, diterima oleh Tuhan.

Denunggahken mring suwarga, wit jalaran manut parentah Nabi, akeh oleh-olehipun, kang wus kasbut ing kitab, lamun suksma nireng kaping kang tan anut, surake jeng Rassulullah, linebohake Yomani.

Terjemahan :

Dinaikkan ke surga, menurut perintah Nabi, banyak perolehannya, seperti telah disebutkan dalam kitab, jika ruh orang kapir yang tidak taat, pada perintah Nabi Rasulullah, di masukan kedalam neraka.

Gita Prabawa duk miyarsa, ………. wusana aris, pernahe iman puniku, aneng jantung nggenira, ing utek pernahe budi, otot balung punika pernahe kuwat.

Terjemahan :

Gita Prabawa setelah mendengar, ………. akhirnya berkata lembut, tempatnya iman itu, didalam jantung, sedangkan akal tempatnya otak, letak kekuatan ada pada otot dan tulang.

Pernahe wirang ing netra, ing donya kang luwih pait, wong miskin kang luwih susah, dene kang luwih pakolih, wong waras lan wong sugih, dene ingkang luwih dumuh, wong bodho tan wruh sastra, ingkang tamat ing pangeksi, iya iku janma wruh ngelmune Allah.

Terjemahan :

Letaknya rasa malu ada di mata, di dunia ini yang lebih pahit, adalah orang miskin yang menderita susah, sedang orang yang paling berbahagia, orang sehat dan orang kaya, yang lebih buta, adalah orang bodoh yang tidak tahu tengtang sastra, yang terang penglihatannya, adalah orang yang tahu tentang ilmu Tuhan.

Kang awit dina kiyamat, ing donya kang luwih gelis, luwih luhur saking wiyat, ngelmune tiba ing Nabi, jembar ngluwiji bumi, puniku jembaring kawruh, landhep ngluwihi braja, iku atine lantip, asrep luwih saking toya iku sabar.

Terjemahan :

Yang mulia pada hari kiamat, di dunia yang lebih cepat, lebih tinggi dari langit, ilmu yang turun kepada Nabi, lebarnya melebihi bumi, itulah luasnya pengetahuan, tajamnya melebihi senjata, itulah hati orang cerdas, dinginnya melebihi air itulah kesabaran.

Luwih atos saking sela, atine wong rupak, dene ta wong barangasan, luwih panas saking geni, wong jalu lawan estri, yekti kathah estrinipun, nadyan ing lair lanang, nanging tan bisa netepi, kuwajibaning priya sasat wanita.

Terjemahan :

Lebih keras dari batu, itulah hati orang yang sempit pikirannya, sedangkan orang yang pemarah, lebih panas dari api, laki-laki dan perempuan, sesungguhnya banyak perempuan, meskipun pada lahirnya laki-laki, tetapi jika tak dapat memenuhi kewajibannya sebagai laki-laki, tak ada bedanya dengan perempuan.

Wong mati lawan wong gesang, sayekti kathah wong mati, nadyan wujudira gesang, lamun nir budi pakarti, yeku prasasat mati, wong sugih lan miskin iku, iya kathah wong mlarat, senadyan sugih mas picis, lamun bodho tan wruh kawruh kasunyata.

Terjemahan :

Orang mati dan orang hidup, sesungguhnya banyak orang mati, meskipun kelihatannya hidup, tetapi jika tidak mempunyai budi pekerti, ya itu seperti orang mati, orang kaya dan miskin itu, juga lebih banyak yang miskin, sebab meskipun kaya harta benda, tapi jika bodoh ia tak tidak tahu ilmu kasunyatan.

Sayekti iku wong nistha, tanwruh wusanane benjing, nggenya mulih mring kalenggengan, wong Islam lawan wong kapir,  nadyan Islam ing lair, yen datan weruh ing ngelmu sanyatane agama, priye dadine agami, satuhune puniku kapir sadaya.

Terjemahan :

Sesungguhnya itu orang nista, tidak tahu akhirnya kelak, jika kembali menghadap Tuhan, orang Islam dan orang kafir, meskipun lahirnya islam, jika tidak tahu tentang ilmu agama, yang sesungguhnya bagaimana itu, sebetulnya itu pun kafir semua.

……, tegese wong laki rabi, lire wodon lawan lanang, aja ha cacade siji, wujude kalimat sahadat, tegese kadi pundi.

Terjemahan :

Artinya bersuami istri, artinya wadon (wanita) dan lanang (pria), jangan sampai ada cacadnya, wujud kalimah sahadat, artinya bagaimana?.

Basa lanang tegesipun, tan keni ingucap jalmi, lah tan iki warna-ningwang, yekti saru anglingsemi, wadon iku tegesira, basa wadon iku wadi.

Terjemahan :

Kata pria artinya, tidak boleh diucapkan orang, inilah ujud saya, betul-betul memalukan, kata wanita artinya, wadi (rahasia).

Mula rabi aranipun, wong lanang amengku estri, ing nedya datan sulaya, karep ala lawan becik, dadi jodho aranira, aywa kaledhong ing nami.

Terjemahan :

Maka dikatakan rabi, bagi pria kawin dengan wanita, dengan tujuan tidak akan berselisih, dalam kehendak buruk dan baik, jadi jodoh namanya, jangan terkecoh.

Aja tindak cula-cula, nganggoa patrap utami, dene ta kalimah sahadat, wong lanang kelawan estri, ingkang aneng sajro tilam, lamun arsa pulang resmi.

Terjemahan :

Jangan bertindak sembarangan, pakailah cara yang utama, yang dimaksud kalimat sahadat, adalah suami istri, yang sedang di tempat tidur, jika hendak bersetubuh.

Yen wus padha rujukipun, sami anekakken kapti, sakarone sami suka, mahanani raseng wiji, yen pinareng karseng Allah, kadadiyan putra benjing.

Terjemahan :

Juka sudah sepakat, sama-sama menyampaikan hasrat, keduanya sama-sama suka, menyebabkan rasa bahagia, jika Tuhan menghendaki, akan menjadi anak kelak.

Kalimah kalih puniku, wujude sira lan mami, tan liyan iki kang ana, dhasar samar kang sun nggoni, mila aran tapel Adam, enggon panggonan kang gaib.

Terjemahan :

Kedua kalimat itu, adalah ujudmu dan ujudku, tak lain inilah yang ada, dasar yang aku tempati tidak jelas, maka bernama tapel Adam, karena tempatnya yang gaib.

Puniku kang aran kakung, paksa kumlungkung mring rabi, aja kalah lan wanodya, iku wus mrantandhani, nalikane mong asmara, wong priya kang dipun pundhi.

Terjemahan :

Itulah yang disebut kakung (pria), memaksa diri kumlungkung (sombong) kepada istri, jangan sampai kalah dengan wanita, itulah telah tercermin, ketika sedang bermain asmara, priyalah yang dihormati.

Mila priya aranipun, wus mesthine angingoni, anyandhang estrinira, mila ing aranan estri, mung ngestreni jejerira, jumurung karsane laki.

Terjemahan :

Sebabnya disebut pria, sudah semestinya memberi nafkah, sandang dan pangan kepada istri, sebabnya disebut istri, karena hanya ngestreni (menungu) dan menyetujui, kemauan suami.

Mula wanita ranipun, kang wani temen ing laki, aja cidra lan sembrana, duk miyarsa Pujiwati, …………

Terjemahan :

Sebabnya disebut wanita, yang wani (berani) setia kepada suami, jangan ingkar dan gegabah, Pujiwati ketika mendengar, ………….

Wus pinasthikodrat ing Hyang, pepesthene janma tan kena gingsir, Darma Gandhul sru umatur menggah takdir ing badan, sinten ingkang uninga saderengipun, wikane yen wus klampahan, mupus takdire Hyang Widhi.

Terjemahan :

Kodrat Allah sudah pasti, takdir manusia tidak dapat berubah, Darmo Gandhul beseru keras adapun takdir diri, siapakah yang mengetahui sebelumnya?, bukankah tahunya itu jika telah terjadi, lalu berserah diri terhadap takdir Allah.

Saderenge kalampahan, ing agesang winenang nampik milih, de karsa tuwan puniku, sayekti yen nemaha, mring bilahi datan wande manggih dudu, dening Hyang Kang Murbeng alam, marga winastan takdir.

Terjemahan :

Sebelum terjadi, orang hidup berhak menolak dan memilih, seperti kehendak Tuan, itu pasti menempuh celaka, tak urung menemui kesalahan, dari Tuhan seru sekalian Alam, sebab yang dinamakan takdir itu.

Ingkang boten tinemaha, wusanane maksih manggih bilai, yeku takdir namanipun, lair batin sampurna, anyengaja lumebu jro guwa singup, niku takdir siya-siya, durake ing lair batin.

Terjemahan :

Yang tidak disengaja, tetapi akhirnya tertimpa celaka juga, itulah takdir namanya, lahir batin sempurna, sengaja masuk kedalam gua yang menakutkan, itu takdir sia-sia, berdosa lahir dan batin.

Laire aran kainan, winastanan janma kang tanpa pikir, ing batin yekti kasiku, marang sang Murbeng Alam, siya-siya menggih marang raganipun, mangka mung darmi ngenggea, prangrasane pasrah Widhi.

Terjemahan :

Lahirnya disebut kurang berhati-hati, dinamakan orang yang tanpa perhitungan, dalam batin sungguh salah terhadap Tuhan, menyia-yiakan badannya, padahal hanya sekedar memakai, menurut perasaannya berserah diri kepada Tuhan.

Hyang Suksma tan munasika, luwih-luwih karepe kang nglakoni, yen dika sedya rahayu, yekti yen menggih arja, lamun dika nemaha pratingkah dudu, sayekti manggih susah, Hyang Suksma amung njurungi.

Terjemahan :

Tuhan tidak akan mengganggu, lebih-lebih atas kehendak yang melakukan, jika tuan bertujuan baik, pasti akan mendapat kebahagian, tetapi jika tuan berbuat salah, pasti akan mendapat kesusahan, Tuhan hanya menyetujui.

Datan keni pinasrahan, mring bilai sakit tanapi pati, yen tan bener pasrahipun, satemah nemu duka, dene siya-siya marang dhewekipun, yen rusak katur Hyang Suksma, yek datan ayun tampi.

Terjemahan :

Tidak boleh diserahi tentang celaka, sakit atau mati, jika penyerahannya itu tidak betul, sehingga mendapat kemarahan, sebab semena-mena kepada dirnya, jika rusak diserahkan kepada Tuhan, pasti tidak mau menerima.

Jer andika kang kainan, yen wis tiwas wong liya kinen tampi, nandhang lara susah ngadhuh, lan ta dikasadhanga, aywa pasrah marang Hyang Kang Maha Luhur, Hyang Suksma tan apa-apa, boya keni dipun tagih.

Terjemahan :

Bukankah tuan yang kurang berhati-hati, jika celaka orang lain disuruh menerima, menderita sakit dan susah mengaduh, sebaiknya tuan rasakan sendiri, jangan menyerahkan kepada Tuhan, Tuhan tidak apa-apa, tidak boleh diminta (bertanggung jawab).

Takdiring Hyang wus ginawa, manut budi obah osiking ati, de ebah osike manus, manut rasa pangrasa, de kang rasa pangrasa iku pan manut, kanyataan kalairan, mungguh kanyataan lair.

Terjemahan :

Takdir Tuhan sudah dibawa, menurut kemauan hati dan pikiran, sedangkan kemauan manusia itu, menurut perasaan, dan perasaan itu menurut kenyataan lahir, kenyataan lahir itu.

Kalamun kirang prayitna, boten wande yekti manggih bilai, lampah paduka punika, nemaha kasusahan, anuruti tembung lamise wong ayu, tan wikan keneng loropan, Gita Prabawa muwus wengis.

Terjemahan :

Kalau kurang berhati- hati, tidak urung pasti mendapat celaka, perbuatan tuan itu sengaja akan menemukan kesusahan, menuruti bujuk rayu wanita cantik, tidak tahu kalau masuk dalam perangkap.

KUTIPAN pupuh diatas mengandung pendidikan budi pekerti sebagai berikut :

Pendidikan budi pekerti yang terkandung dalam Pupuh IV,24-29, menurut ajaran Islam merupakan larangan besar, tetapi dalam hal ini titik tolak pendidikan budi pekerti yang diambil adalah masalah mencuri. Barang apapun yang baik, indah dan enak jika merupakan barang curian tiada harganya juka dibandingkan dengan barang yang jelek atau rendah tetapi barang itu miliknya sendiri. Maksud dan tujuannya adalah mendidik orang agar mensyukuri segala sesuatu yang menjadi miliknya bagaimanapun wujudnya, jangan menginginkan segala sesuatu yang baik atau enak tetapi bukan miliknya, shingga kalau dipaksakan mengakibatkan orang melakukan perbuatan yang dilarang Tuhan.

Pendidikan budi pekerti yang terkandung dalam Pupuh IV,24-29, bahwa orang hidup itu susah, sengsara dan menderita itu adalah perbuatannya sendiri, sedangkan Tuhan itu selalu adil adanya. Perbuatan yang baik akan mendatangkan kebahagiaan dan ketentraman. Orang yang berbuat jahat akan mendatangkan kesengsaraan bagi dirinya sendiri. Dalam pupuh tersebut juga disebutkan bahwa surga dan neraka itu ada pada hati setiap manusia di dunia ini, barang siap yang dalam hidupnya selalu berbuat baik, mulia hatinya, tidak suka berbuat jahat terhadap sesama, hidupnya penuh kebahagian dan dapat menjaga diri dari segala macam godaan yang sifatnya menjerumuskan kedunia sesat, orang yang seperti itu sudah dikatakan  hidup di surga. Sebaliknya orang yang hidupnya selalu bebuat jahat, suka memfitnah, berbuat dengki terhadap sesama sehingga dikucilkan oleh sesamanya dan hidupnya selalu menderita, orang seperti itu dapat dikatakan hidup di neraka jahanam. Pendidikan budi pekerti disini bukan berarti orang yang kaya identik dengan masuk surga dan sebaliknya orang yang miskin masuk neraka, sebab orang kaya jika perbuatannya jahat dan tidak menjalankan perintah Tuhan itu pun akan masuk neraka.

Perumpamaan Seorang Pencuri

Sebaliknya walaupun orang miskin tetapi perbuatannya baik, suka mengamalkan apa saja dan menjalankan perintah Tuhan dengan sebaik-baiknya, dialah yang akan masuk surga. Untuk jelasnya dibawah ini diberikan satu contoh sebagai berikut :

Ada orang yang belum pernah mencuri, suatu saat terpaksa mencuri karena suatu hal. Setelah mencuri hati kecilnya merasa bersalah dan berdosa dan selalu dihantui oleh rasa berdosa ke mana pun dia pergi. Meskipun tidak ada seorangpun yang melihat perbuatannya dengan pandangan penuduh, sehingga ia merasa tersiksa, tidak ubahnya seperti hidup di neraka karena dikejar rasa berdosa.

Dalam pupuh IV, 55-54) disebutkan dalam rukun Islam, bahwa orang yang masuk surga itu adalah orang Islam yang melakukan shalat lima waktu, mengaji (membaca Al Qur’an) dengan rajin, mengucap sahadat dan berpuasa pada bulan Romadhan.   Adapun orang kafir yang masuk neraka adalah orang yang tidak menuruti ajaran Nabi Muhammad saw, meskipun mereka itu mengaku memeluk Islam.

Pendidikan budi pekerti yang terkandung dalam Pupuh IX,27-32, itu adalah tentang letak iman yang ada di jantung, letak akal yang ada di otak, letak kekuatan pada otot dan tulang, dan letak rasa malu ada di mata. Orang yang susah adalah orang yang miskin, dan orang yang bahagia adalah orang yang kaya ada sehat. Yang  dinamakan buta itu adalah orang yang bodoh tidak tahu tentang sastra ilmu Tuhan. Pengetahuan atau ilmu cepatnya melebihi putaran dunia, tingginya melebihi langit dan luasnya melebihi dunia, sedang orang yang cerdas itu tajamnya melebihi senjata dan orang yang sabar itu dinginnya melebihi air. Orang yang berpikiran sempit diibaratkan kerasnya melebihi batu. Orang yang pemarah panasnya melebihi api. Dan laki-laki dan perempuan lebih banyak perempuan, sebab meskipun lahirnya laki-laki apabila tidak dapat memenuhi kewajibannya itu bukan laki-laki. Orang mati dan yang hidup lebih banyak yang mati, sebab meskipun hidup jika tidak berakal itu tidak ubahnya seperti orang yang mati. Orang kaya dan miskin itu lebih banyak yang miskin, sebab orang yang kaya kalau tidak tahu tentang kawruh kasunyatan, ia itu tetap miskin dan hidupnya sangat hina. Orang Islam dan orang kafir lebih banyak yang kafir, sebab meski mereka mengaku Islam jika tidak tahu tengtang ilmu agama Islam yang sesungguhnya, mereka itu tak ubahnya seperti orang kafir.

Hikmah yang dapat dipetik dari uraian tersebut di atas, bahwa sebagai manusia harus belajar dengan baik dan sabar, tidak berpikir sempit, jangan marah lekas marah, harus dapat memanfaatkan kekayaan dengan sebaik-baiknya, dan harus juga menjalankan agama yang dianut sesuai dengan perintah Tuhan dengan sebaik-baiknya.

Menurut Al Qusyairi alat batin yang terhalus adalah Al sirr. Dengan Al sirr seorang hamba dapat musyahadah (menyaksikan atau melihat) Allah, apabila benar-benar telah jernih. Al sirr menurut Al Qusyairi dapat disamakan dengan telenging kalbu (mata hati terdalam atau rasa) dalam kaitannya dengan sembah rasa dalam Serat Wedatama karya  Mangkunegoro IV Pupuh Pangkur bait 13 :

“Tan samar pamoring Sukma, sinukma ya winahya ing ngasepi, sinimpen telenging kalbu, Pambukaning waana, tarlen saking liyep layaping ngaluyup, pindha pesating supena, sumusuping rasa jati”.

Al sirr itu dapat pula disamakan dengan wosing jiwangga (inti ruh) seperti diungkapkan dalam Pupuh Sinom bait 16 :

“Kang wus waspada ing patrap, mangayut ayat winasis, wasana wosing Jiwangga, melok tanpa aling-aling, kang ngalingi kaliling, wenganing rasa tumlawung, keksi saliring jaman, angelangut tanpa tepi, yeku aran tapa tapaking Hyang Sukma”, sesuai dengan penegasan Al Qusyairi “Al sirr althafu min Al ruh” al sirr lebih halus daripada ruh); atau dengan kata lain : sirr itu adalah inti ruh, karena keduanya bermakna “alat batin terdalam”.

Lebih lanjut Al Qusyairi menjelaskan pada bagian lain bahwa “…… seorang hamba yang terus menerus munajat dengan Allah dalam sirrnya ……., maka ia disebut arif dan hal perbuatannya disebut makrifat”. Makfifat, berarti mengetahui Tuhan dan dekat sehingga hati sanubari melihat Tuhan. Makrifat bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi bergantung kepada kehendak rahmat Tuhan. Makrifat adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya. Alat untuk memperoleh makrifat oleh kaum sufi disebut sirr.

Pendidikan budi pekerti yang terkandung dalam Pupuh X,7-16, mengenai arti laki-rabi atau bersuami-istri. Yang dimaksud dengan rabi artinya orang laki-laki kawin dengan perempuan dan sebaliknya, dengan tujuan tidak berselisih pendapat, bersatu dalam segala hal yang baik, dan saling harga-menghargai. Sedankang yang dimaksud kalimat sahadat dalam pupuh X adalah suami istri yang sedang ada ditempat tidur. Pendidikan budi pekerti yang dapat ditekankan di sini adalah bahwa sepasang suami-istri bila hendak bersetubuh harus bersepakat, sama-sama berhasrat, dan sama-sama suka. Jika itu diperhatikan maka kebersamaannya akan menyebabkan kebahagiaan dan kepuasan kedua belah pihak, dan jika Tuhan berkenan akan turunlah benih yang dapat menjadi anak. Dalam pupuh tersebut disebutkan bahwa seorang laki-laki berkewajiban memberikan nafkah kepada istrinya, baik lahir maupun batin. Sebaliknya istri wajib mengikuti kehendak  suami, setia, berbakti, tidak bohong, berani jujur terhadap suami, dan yang penting harus dapat menjaga rahasia suami, sebab istri adalah wanita atau wadon, artinya tempat menyimpan wadi atau rahasia.

Pendidikan budi pekerti yang terkandung dalam Pupuh XI,23-30, adalah takdir Tuhan itu sudah pasti adanya dan pasti terjadi pada setiap manusia. Manusia diberi kuwajiban berusaha memperbaiki takdirnya, tetapi takdir itu Tuhan juga yang menentukan. Adapun usaha manusia untuk memperbaiki takdirnya itu dengan cara berbuat baik, sebab dengan kebaikan Tuhan akan memberikan pahala. Jika manusia berbuat jahat, jelek atau dosa, maka Tuhan akam memberikan hukuman. Takdir sudah digariskan oleh Tuhan bagi umat-Nya, tetapi takdir itu ditentukan sendiri oleh kemauan dan pikiran manusia. Kemauan dan pikiran manusia itu ditentukan oleh perasaan menuruti kemauan lahir. Jadi dalam menuruti kemauan lahir itu manusia harus berhati-hati, jangan hanya sekehendak sendiri. Orang harus dapat mengendalikan kemauan lahir, kalau kemauan lahir itu baik patut dijalankan, tetapi jika kemauan lahir mengajak dalam perbuatan jelek atau jahat dan diturutinya maka takdir Tuhan juga akan jelek nantinya.

Pendidikan budi pekerti yang terkandung dalam Pupuh VII, bahwa sebagai umat Tuhan menurut ajaran Nabi Muhammad saw, haruslah menjalankan shalat lima waktu, yaitu : Subuh dua rekaat, Luhur empat rekaat, Magrib tiga rekaat, dan Isa’ empat rekaat. Dalam pupuh tersebut diterangkan bahwa sebahyang : (1) Shalat Subuh itu bersujud kepada Nabi Adam yang dianggap sebagai Bapak semua umat di dunia. (2) Shalat Luhur yang disujudi adalah Nabi Yunus, sebagai peringatan kepada manusia jika mendapatkan kesusahan hendaknya ingat kepada Tuhan, seperti pengalaman Nabi Yunus ketika ditelan ikan. Nabi Yunus minta pertolongan Tuhan sehingga terhindar dari petaka itu. (3) Shalat Magrib yang disujudi Nabi Musa, (3) dan Shalat Isa yang disujudi Nabi Isa, karena dianggap sebagai roh Tuhan yang menjelma ke dunia, oleh sebab itu pula Nabi Muhammad menyuruh umatnya bersujud kepada Nabi Isa.

Ajaran yang terkandung dalam pupuh XII, tentang arti ashadu allah ilaha ilallah Muhammadar rasulullah. Dalam pupuh itu juga diterangkan tentang letak nyawa, ada tiga puluh dua yang tersebar di seluruh tubuh ini.

Kabuka warang gung, tumalawung sepa sepi nglindhung, Wisnu Kresna uwus anunggal kajatin, marmenak kapenak lampus, kawengku neng rasa yektos.

Terjemahan :

Terbuka tirai agung, terpukau kosong sepi berlindung, Wisnu Kresna telah nyata bersatu padu, oleh sebab itu lebih enak dan nyaman, karena terliputi oleh rasa sejati.

Rasa Mulya satuhu, kang nduweni dene alamipun, manut karseng Pangeran Kang Mahaluwih, si raga nglakoni dhawuh, wus atas karseng Hyang Manon.

Terjemahan :

Rasa mulia sejati itu, yang sungguh-sungguh memiliki, adapun alamnya menurut kehendak Tuhan Yang Maha Kuwasa, tubuh melakukan perintah, atas kehendak Yang Maha Mengetahui.

Lamun sira tan nggugu, lah mengaa ing langit andulu, dudu sasi iku ingkang andamari, lan srengengene iku dudu, ingkang madhangi sumorot.

Terjemahan :

Jika kau tidak menurut, nah tengadahlah kelangit memandang, bukan bulan itu yang menyinari, dan matahari itu juga bukan yang menerangi, bercahaya.

Tan liya saking suwng, lah suwunge graitanen iku, yen siraasa nyatakken kawruh kang luwih, utamane wong tumuwuh, warneng damar wulan jumboh.

Terjemahan :

Tak lain daripada kosong, nah kekosongan itu renungkanlah, jika kau ingin membuktikan ilmu yang sempurna, keutamaan orang hidup, seperti sinar bulan.

Surya saksine iku, lamun siji wujude Allahu, sipat langgeng nora kena owah gingsir, wulan saksi rasa iku, owah lan gingsir enggon.

Terjemahan :

Matahari sebagai saksi, bahwa satu wujud Allahu itu, sifatnya abadi tidak dapat berubah bergeser, bulan menjadi saksi rasa itu, berubah dan bergesernya tempat.

Bisa nom tuwa iku, iya lintang iku saksinipun, tetep langgeng kawula ingkang saksi, tiga cahyane nggeguwung, seje wujude katonton.

Terjemahan :

Dapat tua dan muda itu, bintanglah yang menjadi saksi, tetap abadinya manusia itu saksinya, berbeda wujudnya kalau dilihat.

Iku ta tandhanipun, kawula gusti miwah rasa jumbuh, beda-beda jinis tan wujud tan sami, lan ora dulu-dinulu, tan tumunggal lan tan tinon.

Terjemahan :

Itu tandanya, manusia dan Tuhan bersatu raga, berbeda jenis, tak berujud dan tidak sama, dan tidak saling berpandangan, tidak melihat dan tidak kelihatan.

Adohe angelangut, luwih parek nanging datan gathuk, sesa-sesa karepe ingkang ngarani, denarani pisah kumpul, denranna parek tan nyenggol.

Terjemahan :

Jauh tanpa batas, meski dekat tak bersentuhan, terserah kemauan yang menyebut, dikatakan berpisah tetapi bersatu, dikatakan dekat tai tak bersentuhan.

Kawula gusti jumbuh, lan rasane apa bedanipun, seje-seje jinis rasa : kawula gusti, denranana tunggal kumpul, denranana seje seos.

Terjemahan :

Kawula gusti jumbuh, dalam hal rasa apakah bedanya?, berlainan jenis rasa kawula : gusti itu, dikatakan tuggal memang bersatu, dikatakan berbeda memang lain.

Ya sira iya ingsun, tunggal rupa sarana wus jumbuh, saksi nyata panitike surya mijil, cahyeng lintang wulan samun, sing haweng srengenge nyorot.

Terjemahan :

Engkaupun juga aku, satu rupa satu rasa telah jumbuh, saksi nyata ditandai dengan ketika matahari terbit, cahaya bitang dan bulan menjadi suram, karena udara sinar cahaya matahari.

Kalihnya lir linimput, kasorotan srengenge sumunu, nging yektine mor surahsa anyorot, wor nunggal cahya tetelu, Allah : Rasul : Suksma jumbah.

Terjemahan :

Keduanya seperti ditutupi, terkena sinar cahaya matahari, tetapi sesungguhnya bercampur bersatu dalam kerahasian menyinari, ketiga cahaya itu berbaur bersatu padu, Allah : Rasulullah dan Suksma jumbuh.

Yen wus srengenge surup, kari wulan lan lintang sumunu, ibarate wong kang merem datan guling, padhang ing rat tan kadulu, rasa lan pangrasa nyarong.

Terjemahan :

Jika matahari telah terbenam, tinggal bulan dan bintang bersinar, ibarat orang memejamkan mata tidak tidur, terangnya dunia tidak tampak, tapi rasa dan perasaan menerawang.

Kari suksma lan Rasul, ingkang ana wit srengenge surup, amung kari cahyanira ingkang maksih, katon dhewe-dhewe wujud, ibarate turu ngorok.

Terjemahan :

Tinggal Suksma dan Rasul, jika matahari terbenam, hanyalah sinarnya saja, yang masih tampak wujud masing-masing, ibarat orang tidur mendengkur.

Supena janma turu, kari rasa pangrasa kang kantun, Allah lawan Rasulullah ambenggangi, mung kari pribadinipun, ingkang dumunung neng kene.

Terjemahan :

Manusia tidur bermimpi, tinggal rasa dan perasaan tertinggal, Allah dan Rasulullah mengitarinya, tinggal pribadinya saja, yang masih ada di situ.

Yen eling janma turu, mendhung lelimengan kang kadulu, sirna mulih mring asale ingkang lami, apan kari asal suwung, mulih mring klangengan jumboh.

Terjemahan :

Jika orang tidur itu ingat, gelap gulita yang terlihat, hilang lenyap kembali ke asalnya yang dulu, sebab tinggal asalnya yang kosong, pulang kembali ke alam baka, jumbuh.

Gita Prabawa saurira, nora susah sira mateni mami, nganggo waos  lawan dhuwung, saiki sun wus pejah, guru tiga sugal ing pamuwusipun, amung lagi tatanira, wong mati cangkeme criwis.

Terjemahan :

Gita Prabawa menjawab, tidak usah engkau membunuh aku dengan tombak dan keris, sekarang pun aku sudah mati, ketiga guru berkata kasar, hanya kau yang berkata begitu, orang mati cerewet.

Awake wutuh lir reca, Gita Prabawa wengis denira angling, yen patine kewan iku, nganti rusaking jasat, lamun nganti aking paninireng kayu, yen ilang patine setan, lamun ingsun ingkang mati.

Terjemahan :

Badanya utuh bagaikan arca, Gita Prabawa berkata bengis, jika hewan mati, sampai rusak tubuhnya, jika sampai kering itu matinya kayu, jika hilang itu kematiannya setan, namun jika aku yang mati.

Ora wujud nora ilang, dina iki uga ingsun wus mati iku nepsuku, sakabehe kang salah, ingkang urip budi pakarti kang jujur, pisahing raga lan suksma, kinarya tandha ing lair.

Terjemahan :

Tidak hilang tidak juga berujud, saat itu juga aku sudah mati, yang mati adalah nafsuku, semua yang salah, dan yang hidup adalah budi pekerti yang jujur, pisahnya jiwa dan raga, itu sebagai tanda lahir saja.

Puniku maknane sadat, pisahira kawula lawan Gusti, pisah esah tunggalipun, dadya roh Rasulullah, yen pisah raga lawan suksma iku, pangrasa lan cahya ilang, panggonane ana ngendi.

Terjemahan :

Itu makna sahadat, berpisahnya kawula dan gusti, berpisah sama sekali kesatuannya, menjadi roh Rasulullah, jika sudah berpisah jiwa dan raga itu, perasaan dan cahaya juga hilang, dimanakah tempatnya?.

Pendidikan budi pekerti yang terkandung dalam Pupuh IV,48-62, adalah tahap manusia telah menyatukan diri dengan Tuhan. Dalam pupuh IV disebutkan bahwa jiwa manusia terpadu dengan jiwa alam semesta dan semua tidakan manusia semata-mata menjadi jalan menuju kemanunggalan dengan Tuhan. Orang yang mati telah dikuasai oleh “rasa sejati” dan dunianya menurut kehendak Tuhan, sedangkan tindakan manusia semata-mata hanya menjadi jalan menuju kemanunggalannya dengan Tuhan.

Ajaran yang termuat dalam Pupuh VI,50-52, menguraikan bahwa orang yang mati sebetulnya bukan mati yang sesungguhnya, yang mati itu hanyalah nafsunya, semua yang salah atau perbuatan jahat, dan yang hidup adalah budi pekerti yang jujur. Pisahnya jiwa dan raga telah terpisah maka perasaan dan cahaya pun hilang juga, kemana perginya, ada dimana tempatnya, tiada seorang pun yang tahu.

Pendidikan budi pekerti yang terkandung dalam Pupuh VI,52-53, menyarankan jika orang ingin bersatu dengan Tuhan hendaklah berbuat yang baik, sebab kebaikan itulah yang akan dibawa jika menghadap kepada Tuhan.

aji saka

Ajisaka

Sebuah Perenungan tentang Sosok Ajisaka

Karena kehendak Allah jugalah terjadinya manusia, hewan, pepohonan, kutu walang ataga, yang kesemuanya itu terjadi serta hidup dan dapat dilihat secara nyata wujudnya (ana rupa-wujude). Atas kehendak Allah tersebut yang luluh pada diri manusia, menyebabkan manusia memiliki keluhuran, keimanan, bawa laksana,
welas asih, keadilan, ketulusan, eling lan waspada. Kesemuanya itu memberikan manusia kemuliaan (kamulyan) dan kesejahteraan (karahayon). Rasa tersebut juga menghubungkan kehidupan manusia dengan Allah Sang Maha Pencipta.
Ca-ra-ka sendiri pengertiannya adalah memuliakan Allah. Sebab tanpa ada bawana seisinya, apalagi tanpa adanya manusia, tentu tidak akan ada sebutan Asma Allah. Tanpa adanya caraka, tentu pula Hana-Ne tidak akan disebut Hana. Sementara makna Da-ta-sa-wa-la dapat dijelaskan maknanya sebagai berikut. Adanya yang ada (anane dumadi) sumber asalnya adalah Satu, yaitu Dzat Allah. Dari yang kasar dan halus (agal lan alus), wingit (penuh misteri) dan gha’ib, pasti pada dirinya melekat setidaknya secercah Dzat Allah (kadunungan sapletheking Dzat Allah). Artinya, pancaran kun fayakun itu tidak hanya mencipta bawana seisinya, namun terus-menerus memancarkan kasih, mencermati dan meliputi terhadap seluruh kehidupan (ngesihi, nyamadi lan nglimputi sakabehing dumadi).
Allah menciptakan bawana seisinya, khususnya dalam menciptakan manusia, bukan tanpa rencana, namun dengan keinginan dan tujuan yang nyata dan pasti. Titah Allah tidak dapat diingkari dari apa yang sudah ditetapkan menjadi kodrat (pepesthen). Demikian juga seluruh makhluk hidup di dunia (saobah-mosiking dumadi) pasti terkena keterbatasan dan pembatasan (wates lan winates), seperti halnya sakit dan kematian. Namun selain itu, juga melekat dalam dirinya (kadunungan) kelebihan satu dari yang lain, saling ketergantungan, lebih melebihi (punjul-pinunjulan) dan saling hidup-menghidupi (urip-inguripan).
Baik dalam rupa, wujud, warna dan sosoknya (balegere dumadi), manusia dapat dikatakan sempurna tiada yang melebihi (kasampurnaning manungsa). Terciptanya manusia yang ditakdirkan (pinesthi) menjadi Wali Allah, menandakan bahwa hanya sosok manusia sajalah yang mampu menjadi Warangka Dalem Yang Maha Esa (wakil Tuhan di dunia). Kelahiran manusia dalam wujud raga-fisik dan bentuk badan itu merupakan sari-patining bawana. Maka, menjadi keniscayaan jika manusia mampu menggunakan dayanya guna mengungkap rahasia alam.
Kelahiran hidup manusia, merupakan wujud dari sukma, yang dalam proses mengada dan menjadi (being and becoming) terbentuk dari sari-pati terpancarnya Dzat Allah (dumadi saka sari-pati pletheking Dzat Allah). Oleh sebab itu, manusia mampu mengkaji dan menelusuri, menggali dan mencari serta meyakini dan mengimani adanya Allah (nguladi, ngupadi, ngyakini lan ngimani marang kasunyataning Allah), sebab sukma sejati manusia itu berasal dari Sana (sabab suksma sajatining manungsa asale saka Kana). Selanjutnya Pa-dha-ja-ya-nya, maknanya bahwa sawenehing kang dumadi atau apa pun dan siapa pun tidak akan dapat hidup sendiri, sebab ia akan senantiasa menjalani hidup dan kehidupan bersama, sebagaimana keniscayaan
fitrahnya, bahwa: panguripaning dumadi tansah wor-ingaworan -dalam kehidupan manusia selalu saling pengaruh mempengaruhi— selain juga punya ketergantungan satu sama lain. Begitu juga hidup manusia, bahwa perangkat badaning manungsa tidak mungkin secara parsial dapat hidup sendiri-sendiri. Artinya, ana raga tanpa sukma/nyawa tidak mungkin bisa hidup, tetapi ana sukma tanpa raga juga tidak bisa dikatakan hidup, karena tidak bisa bernafas.
Jika seluruh anggota badan makarti semua, baru disebut urip kang sejati. Daya hidup (sang gesang) akan melekat (built-in) pada setiap diri-pribadi seseorang, yaitu rupa, wujud berikut segala tingkah-lakunya. Dapat dikatakan daya hidup akan luluh pada dirinya (sing kadunungan). Semua yang berwujud dan hidup pasti bakal tarik- enarik, saling bersinergi (daya-dinayan), sehingga menimbulkan daya-daya, seperti: daya
adem-panas, positif-negatif, luhur-asor, padhang-peteng, dan kesemuanya itu senantiasa berputar silih berganti (cakra manggilingan).
Semua inti dari interaksi tersebut ada pada diri manusia, di mana inti tadi sebenarnya telah terserap dari badan manusia sendiri. Maka dapat disimpulkan, bahwa obah-mosiking jagat/alam, juga terjadi pada obah-mosiking manungsa secara pribadi. Di mana ketika terjadi gonjang-ganjinging jagat/ alam, kejadian pada manusia juga demikian adanya. Ketika manusia bertingkah-laku angkara-murka, merusak dan sebagainya, jagat/alam juga berada dalam ancaman bahaya, misalnya musibah banjir, lahar, tanah longsor, banyaknya kecelakaan dan sebagainya.
Makanya, manusia harus selalu ingat akan kewajiban pokoknya, yaitu: Hamemayu-Hayuning Bawana. Artinya, kanthi adhedhasar sarana sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu sebetulnya manusia dapat nyidhem atau menghindari kerusakan alam semesta, selain juga bisa nyirep dahuruning praja (memadamkan kerusuhan negara).
Ikatan manusia dengan Allah Swt., berupa keyakinan dan kepercayaan yang diwujudkan dalam panembah lan pangesti seperti ditulis dalam tuntunan kalam, yang disebut agama, mewajibkan manusia manembah (sembahyang, samadi) hanya tertuju kepada Yang Satu, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Ketika manusia manembah melalui sembah rasa, harus dengan seluruh sukma (roh, moral) kita, bukan badan raga yang penuh dengan kotoran (nafsu duniawi). Sebetulnya sembah raga itu hanya sarengating lahir, agar supaya umat manusia taat dan manembah marang Gusti Kang Murbeng Dumadi.
Manusia itu paling dipercaya ngembani asmaning Allah, maka manusia harus menduduki rasa kemanusiaannya. Untuk itu, manusia harus bisa menempatkan diri pada citra keTuhanannya. Allah telah menciptakan apa saja untuk manusia, jagat sak isine, tinggal bagaimana manusia bekti marang Allah Kang Maha Esa. Tergantung manusianya, seberapa besar tanggung jawabnya marang Kang Maha Kuasa, sebab bawana beserta seluruh isinya adalah menjadi tanggung jawab manusia.
Yang terakhir, Ma-ga-ba-tha-nga dapat dijelaskan maknanya, kurang-lebih sebagai berikut. Manungsa kang kalenggahan wahyuning Allah, manungsa kang manekung ing Allah Kang Maha Esa dadi daya cahyaning Allah lan rasaning Allah luluh pada sukma manusia. Jagat (alam) tergantung pada sejarah umat manusia yang disebut awal dan akhir, juga menjadikannya jantraning manungsa. Hakikatnya gelaring alam/jagat itu, juga gelaring manungsa. Jadi di dunia ini ora bakal ana lelakon, ora ana samubarang kalir, kalau tidak ada gerak kridhaning manungsa.
Setelah ada manusia, sakabehing wewadi, sakabehing kang siningit lan sinengker wus kabukak wadine –semua telah jelas, semua telah menjadi nyata.
Wis ora dadi wadi, amerga wis tinarbuka;
Wis ora ana wingit, amerga wis kawiyak;
Wis ora ana angker, amerga wis kawuryan.
Artinya, kalau semua sudah kamanungsan/konangan —kalau semua telah menjadi kenyataan— berarti tugas kewajiban manusia di dunia telah selesai. Sudah sampai pada perjanjian pribadining manungsa dan sudah titi mangsa harus pulang marang pangayuning Pangeran. Dari tidak ada menjadi ada (ora ana dadi ana) menjadi tidak ada lagi (ora ana maneh). Artinya, sakabehing dumadi yen wis tumekaning wates kodrate, mesti bakal mulih marang mula-mulanira lan sirna. Awal-akhire, artinya sangkan paraning dumadi wis khatam/tamat. Kalau umat manusia sudah tidak ada lagi -kang dadi asmaning Allah-juga tidak akan disebut (kaweca), ana.
Demikianlah, kurang lebih hasil perenungan saya selama ini dalam menggali makna filosofis yang terkandung dalam ajaran Aji Saka: “Ha-na-ca-ra-ka”. Betapa pun kita mengagungkan ke-adiluhung-an karya sastra Jawa, seperti Serat Wulangreh, Serat Wedhatama, atau pun filsafat Ha-na-ca-ra-ka, apabila tanpa penghayatan dan meresapi nilai-nilai substansial yang terkandung di dalamnya serta usaha mengembangkannya, tentulah tidak akan bermakna bagi kehidupan sastra Jawa masa kini dan masa depan, apalagi terhadap budaya Indonesia Baru yang harus kita bangun.
Sastra Jawa mengandung wulang-wuruk kejawen, yang jika dilakukan penelitian lebih suntuk akan bisa digali ajaran kehidupan yang mampu memberi pencerahan pikir dan rasa untuk direnungkan di malam hari. Kesemuanya itu seakan meneguhkan makna peninggalan Aji Saka yang diungkapkan Sri Susuhunan Paku Buwono IX dalam tembang Kinanthi: “… Nora kurang wulang-wuruk, tumrape wong tanah Jawi. Laku-lakuning ngagesang, lamun gelem anglakoni. Tegese aksara Jawa iku guru kang sejati”.


sumber:blog panuntun urip

wejangan syekh amongraga

Pan

WEJANGAN SYEKH AMONGRAGA KEPADA NIKEN TAMBANGRARAS (MANUNGGALING KAWULO KELAWAN GUSTI DALAM SERAT CENTHINI)
Oleh Mas Kumitir
Ini adalah bagian dari Serat Centhini yang membahas tentang tahap-tahap perjalanan seseorang saat mengalami ekstase. Yaitu sebuah kondisi spiritual saat seseorang mengalami “penyatuan” dengan Dzat-NYA atau manunggaling kawulo kelawan Gusti. Serat Centhini, kita tahu, adalah babon serat-serat Jawa yang terdiri dari 12 jilid dan bila dikumpulkan mencapai 6000 halaman lebih. Semoga pembaca mendapatkan secuil manfaat dari terjemahan ini. Rahayu. (Mas Kumitir).
Syekh Amongraga memberikan wejangan kepada istrinya yang bernama bernama Niken Tambangraras selama 40 hari/malam, baik yang berkenaan dengan makna hidup dan bagaimana cara manusia mendapatkan makrifat kepada Tuhan Dzat Yang Maha Besar, maupun yang berkenaan dengan kehidupan keluarga. Berikut bait-bait yang kamu dikutip dari Serat Centhini yang menggambarkan tentang kemanunggalan antara Tuhan dan manusia :
  • 1. Yen nuli / winisik basa sempurna / sareng miarsa Ki Bayi / senggruk-senggruk anangis / tangis cumeplong ing kalbu / manah padang nerawang / ngraos tuwuk tanpa bukti / pangaraose wus ana sangisor aras.
“Kemudia ia membisikkan kata-kata sempurna, ketika itu didengar oleh Ki Bayi dia mulai menangis tersedu-sedu, tetapi ia sekaligus ia merasakan suatu kepuasan batin yang besar. Batinnya menjadi terang-benderang, ia merasa kenyang tanpa menyantap sesuatu, ia merasa seolah-olah terangkat ke hadapan tahta Tuhan.”
  • 2. Ambalik sami sekala / kramane mring Amongragi / mehmeh kaya ngabekti / saking tan nyipa kakalih / mung mangsud guru yekti / Ki Bayi aris turipun / rayi dalem kalihnya / sumangga ing kersa sami / ingkang mugi wontenan sih wulang tuan.
“Pada saat yang sama sikapnya terhadap Amongraga berubah sama sekali, ia hampir berbakti kepadanya, karena sekarang ia hanya memikirkan satu-satunya ini, aku mendapatkan seorang guru sejati, kemudian dengan suara lembut Ki Bayi berkata, semoga anda berkenan, agar juga kedua adik anda menerima rahmat ajaran anda.”
  • 3. Inggih kang basa punika / Mongraga umatur aris / gih putranta sekalihan / sampun kaula wejangi / ing ratri kala wingi / kalihewus sami suhud / matur alkamdu lilah / kaula dados wuragil / sakelangkung panrima kula satitah.
“Yakni kata-kata yang tadi anda sampaikan, Amongraga mejawab, kedua putra Bapak sudah saya berikan ajaran itu tadi malam, keduanya sudah maklum akan kebenaran. Syukur kepada Tuhan, kalau demikian akulah yang bungsu, kata Ki Bayi, saya puas sekalai dengan urutan ini.”
  • 4. Amongraga pan wus wikan / ing dalem papanceneki / Ki Bayi lan putranira / Jayengwesti / beda ganjaraneki / Ki Bayi ganjaranipura / sih kamulyan ing donya / kang putra ganjaraneki / pan cacalon ganjaran mulyeng akerat.
“Amongraga tahu, apa yang ditujukan kepada Ki Bayi dan apa yang dituakan kepada kedua putranya, Jayengwesti dan Jayengraga. Ganjaran disediakan kemuliaan dunia ini, bagi kedua anaknya kemuliaan di akhirat.”
  • 5. Kewawa ngelmi makripat / de Ki Bayi panurteki / kahidayat ngelmu sarak / Sarengat utameng urip / Mongraga matur aris / paduka ingkang akasud / tepakur maring Allah / lan tangat kala ning wengi / lawan ngagengena salat perlu kala.
“Kedua anak itu mampu menerima ngelmu makrifat, sedangkan kepada Ki Bayi Panurta diberi tuntunan ngelmu sarak (agama menurut hukum), sehingga ia hidup dengan utama. Kemudian Amongraga berkata dengan lirih, tekunlah dalam menjalankan dan lakukanlah olah bakti malam hari, junjunglah sholat yang diwajibkan pada saat-saat tertentu.”
  • 6. Ywa pegat adarus mulang / ing kitan Kur’an amerdi / ing janma pekir kasihan / Ki Bayi nor raga ajrih / ing wulang Amongragi.
“Daraskanlah (membaca) ayat-ayat Al-Qur’an, rajinlah dalam mengajarkan Kitab Suci. Berilah sedekah kepada orang-orang miskin. Ki Bayi merendahkan diri ketika ia menerima ajaran Amongraga.”
  • 7. Mongraga denya kasud / sunad wabin nem rekangatipun / tigang salam sawus ing bakda anuli / tangat kiparat tawajuh / kalih salam bakda manggon.
“Guna mencapai keadaan ekstasis Amongraga melakukan sholat sunat wabin dengan enam rekaat dan tiga salam (pujian), sesudah itu olah kifarat tawajuh (pemulihan dan terarah kepada Tuhan) dengan dua salam, sesudah itu duduk tidak bergerak.”
  • 8. Amapanaken junun / pasang wirid isbandiahipun / satariah jalalah barjah amupid / pratingkahe timpuh wiung / tyas napas kenceng tan dompo.
“Sambil mempersiapkan diri untuk manunggal dengan Tuhan, ia melakukan wirid menurut (tarekat) Isbandiah, Satariah, Jalalah, dan Barjah, terserap olehnya, ia duduk bersimpuh (kakinya terlekuk ke belakang), hati sanubari dan pernapasan dalam keselarasan.”
  • 9. Nulya cul dikiripun / lapal la wujuda ilalahu / kang pinusti dat wajibulwujudi / winih napi isbatipun / pinatut tyas wusa anggatok.
“Kemudian ia mengawali dikirnya dengan kata-kata, la wujuda ilalahu (tak ada sesuatu selain Allah), Dat yang niscaya ada, itulah yang menjadi pusat perhatiaannya, dasar penyangkalan dan pengakuan dan dengan itulah hatinya diselaraskan.
  • 10. Angguyer kepala nut / ubed ing napi lan isbatipun / derah ing lam kang akir wit puserneki / tinarik ngeri minduwur / lapal ilaha angengo.
“Kepalanya mulai bergerak memutar, silih berganti menyangkal dan mengakui, pada lingkaran lam terakhir kepalanya bergerak dari pusat ke kiri ke atas. Pada ucapan ilalah kepalanya bergerak.”
  • 11. Nganan pundak kang luhut / angleresi lapal ila mengguh / penjajahe kang driya mring napi gaib / ilalah isbat gaibu / ing susu kiwa kang ngisor.
“Ke kanan ke atas ke arah bahunya, pada saat ia berkata ila inderanya memasuki penyangkalan tersembunyi, ilalah ialah pengakuan gaib di sebelah kiri dadanya.”
  • 12. Nakirahe wus brukut / lapal la ilaha ilalahu / winot seket kalimah senapas nenggih / senapas malih motipun / ilalah tri atus manggon.
“Demikianlah nakirah menjadi paripurna, kata-kata la ilalahu dirasakannya 50 kali dalam suatu pernapasan, kemudian 300 kali ilalah pada pernapasan berikut. Istirahat sebentar.”
  • 13. Anulya lapal hu hu / senapas ladang winotan sewu / pemancade tyas lepas lantaran dikir / kewala mung wrananipun / muni wus tan ana raos.
“Lalu hu, hu, 1000 kali dalam satu pernapasan panjang, demikianlah hatinya naik lepas bebas tanpa rintangan, dengan perantara dikir yang fungsinya hanya sebagai sarana. Suara-suara yang dikeluarkannya tak ada arti lagi.”
  • 14. Wus wenang sedayeku / nadyan a a e e i i u u / sepadane sadengah-dengan kang uni / unine puniku suwung / sami lawan orong-orong.
“Segalanya diperbolehkan, entah itu aa, ee, ii atau uu atau lain sebagainya, terserah apa saja. Kemudian suara-suara itu tiba-tiba lenyap seperti suara seekor orong-orong (yang tiba-tiba diam seketika).”
  • 15. Ing sanalika ngriku / coplok ing satu lan rimbagipun / dewe-dewe badan budine tan tunggil / nis mikrad suhul panakul / badan lir gelodog.
“Pada saat yang sama bata-bata dan bentuk terlepas, artinya badan dan budi masing-masing berdiri sendiri-sendiri, ia lenyap dan mi’raj, terlebur dalam Dat Ilahi, badannya tertinggal bagaikan sebatang glodog.”
  • 16. Tinilar lagya kalbu / yekti ning napi puniku suwung / komplang nyenyed jaman ing mutelak haib / wus tan ana darat laut / padang peteng wus kawios.
“Yang ditinggalkan oleh lebah-lebah, kosong. Kalbunya merupakan ketiadaan sejati, kosong sepi. Tiada ada lagi daratan maupun laut, terang dan gelap tiada lagi.”
  • 17. Pan amung ingkang mojud / wahya jatmika jro ning gaibu / pan ing kono suhule dinera mupid / tan pae-pinae jumbuh / nora siji nora roro.
“Yang ada hanya indah itulah yang meliputi yang batiniah dan lahiriah di alam gaib. Di sanalah usaha Amongraga untuk mencapai kemanunggalan sampai pada titik penghabisan. Tak ada lagi perbedaan, hanya kesamaan yang sempurna, mereka bukan satu bukan dua lagi.”
  • 18. Wus tarki tanajul / mudun sing wahya jatmika ngriku / aningali tan lawan netranireki / Dat ing Hyang Kang Maha Luhur / patang prekara ing kono.
“Sesudah tarakki menyusullah tanazzul, ia turun dari alam lahir dan atin (wahya jatmika), ia memandang lagi tetapi bukan dengan matanya, Dat Yang Maha Luhur, di sana terdapat empat hal.”
  • 19. Sipat jalal gaibu / jamal kamal kahar gaibipun / wusna mijil saking gaib denyaa mupid / wiwit beda jinisipun / Gusti lan kawula reko.
“Sifat jalal yang gaib, keindahan, kesempurnaan dan kekuasaan (jamal, kamal dan kahar) yang gaib. Sesudah keluar dari keadaan gaib mulailah perbedaan dua jenis, yaitu Gusti dan kawula.”
  • 20. Dat ing gusti puniku / jalal kamal jamal kahar nengguh / sipat ing kawula pan akadiati / wahdat wakidiatipun / alam arwah adsam mengko.
“Adapun hahekat Gusti itu ialah jalal, kamal, jamal adapun sifat-sifat kawula itu ialah ahadiyya, wahda, wahadiyya, alam arwah, alam ajsam.”
  • 21. Misal insan kamilu / beda ning gusti lan kauleku / yekti beda ingriku lawan ingriki / kejaba kang wus linuhung / pramateng kawroh kang wus wroh.
“Alam misal dan insan kamil. Perbedaan antara Gusti dan kawula ialah perbedaan antara dua jenis sifat-sifat itu, kecuali bagi manusia yang istimewa (linuhung) yang sudah mengetahui ilmu sejati.”
  • 22. Sawusira aluhut / lir antiga tumiba ing watu / pan kumeprah tyasira lagyat tan sipi / tumitah ing jamanipun / aral ing kula katonton.
“Sesudah ektasinya lewat, ia menyerupai sebutir telur yang jatuh di atas sebuah batu, demikian rasa terkejut di dalam hatinya ketika kembali dalam keadaan makhluk dan melihat kembali keterbatasannya selaku seorang hamba (kawula).”
  • 23. Luaran denya suhul / angaringaken senapas landung / mot saklimah La ilaha ilalahi / mulya andodonga sukur.
“Sesudah kemanunggalannya dengan Tuhan larut, ia bernafas panjang sambil mengucapkan satu kali syahadat, la ilaha ilalah, kemudian memanjatkan doa syukur.”
  • 24. Yen wus munggah budimulya / Sang Hyang Mahamulya lan mulya ning budi / abeda nora neda / pan wus jumbuh sembah lawan puji / puji amuji ing dawakira / iya dewe nora dewe / tanpa dewe pupus.
“Bila budi sudah naik ke tempat yang mulia, maka dalam keadaan mulia itu Yang Mahamulia dan budi berbeda dan tidak berbeda. Sembah dan pujian menjadi serupa. Pujian merupakan pujian terhadap dirinya. Manusia sendiri yang mengalami itu, tetapi juga bukan diri sendiri. Tiada lagi dirinya, hanya itulah yang dapat dikatakan.”
  • 25. Bakda dikir anuli / adonga sukur Hyang Agung / sawusira dodonga / asujud sumungkem siti / takrub asru tepekurira nelangsa.
“Sesudah dikir ia memanjatkan doa syukur kepada Yang Agung, sesudah itu ia bersujud, merebahkan diri ke tanah, dan mendekati Tuhan dengan merasakan kerendahannya.”
  • 26. Rumasa kinarya titah / beda ning kawula gusti / lir lebu kelawan mega / bantala lawan wiati.
“Ia menyadari bahwa dia hanya buah ciptaan dan bahwa antara kawula dan Gusti ada perbedaan, seperti antara debu (di tanah) dan awan, atau seperti antara bumi dan ruang angkasa.”
Dari beberapa bait (pada dalam bhs Jawa) yang ada dalam Serat Centhini ini, dapat memberikan suatu gambaran bahwa Tuhan dan manusia tidak sama, karena manusia adalah ciptaan Tuhan. Namun manusia bisa mencontoh sifat-sifat Tuhan dan mengingatnya dengan memperbanyak dikir sehingga dapat mengalami kondisi ekstasis, yakni kemanunggalan dengan Dzat Mutlak Tuhan.