Selasa, 25 Desember 2012

fiqih 001



ilmu fiqih


Ada begitu banyak dalil yang mewajibkan kita untuk belajar ilmu f iqih, baik dari Al Quran maupun dari As Sunnah. Kewajiban yang diberikan itu terkadang dalam bentuk konteks individu yang hukumnya menjadi fardhu ‘ain, namun terkadang juga menjadi kewajiban yang bersifat kolektif, sehingga hukumnya menjadi fardhu kifayah.

1. Dalil Al Quran

Ada begitu banyak dalil dari Al Quran yang mewajibkan umat Islam mempelajari ilmu fiqih. Di antaranya ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Tidak sepatutnya bagi mu’minin itu pergi semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS At Taubah: 122)

Ayat ini menegaskan tentang keharusan sekelompok orang yang mendalami fiqih dari sekian banyak orang yang berjihad di jalan Allah. Ayat ini membandingkan antara kewajiban berjihad yang pahalanya begitu besar dengan kewajiban menuntut ilmu agama.

Kalau kita bandingkan antara jumlah orang awam dan jumlah para ulama, kita akan menemukan perbandingan yang jauh dari proporsional. Dengan kata lain, ulama di masa sekarang ini termasuk ‘makhluk langka’ bahkan nyaris punah.

Maka memperbanyak jumlah ulama serta menyebar-luaskan ilmu-ilmu syariah menjadi hal yang mutlak dilakukan. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang keharusan adanya sekelompok orang yang berkonsentrasi mendalami ilmu-ilmu syariah.

Mempejari Islam adalah kewajiban pertama setiap Muslim yang sudah aqil baligh. Ilmu-ilmu ke-islaman yang utama adalah bagaimana mengetahui kemauan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap diri kita. Dan itu adalah ilmu syariah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“..Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ulama) jika kamu tidak mengetahui.” (QS An Nahl: 43)

Paling tidak, setiap Muslim wajib melakukan thaharah, shalat, puasa, zakat dan bentuk ibadah ritual lainnya. Dan agar ibadah ritual itu bisa syah dan diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tidak boleh dilakukan dengan pendekatan improvisasi atau sekedar menduga-duga semata. Harus ada dasar dan dalil yang jelas dan kuat. Karena ibadah ritual itu tidak boleh dilakukan kecuali sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Dan penjelasan secara rinci dan detail tentang bagaimana format dan bentuk ibadah yang sesuai dengan apa yang diajarkan oleh beliau hanya ada dalam syariat Islam.

“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS Az Zumar: 9)

2. Dalil As Sunnah

Sedangkan dalil-dalil yang mewajibkan kita belajar ilmu fiqih yang berupa dalil-dalil dari sunnah nabawiyah sebenarnya sangat banyak, di antaranya sebagai berikut:

a. Hadits Dicabutnya Ilmu

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits beliau yang shahih:

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba dari tengah manusia, tapi Allah mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama. Hingga ketika tidak tersisa satu pun dari ulama, orang-orang menjadikan orang-orang bodoh untuk menjadi pemimpin. Ketika orang-orang bodoh itu ditanya tentang masalah agama mereka berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menceritakan bahwa umat Islam yang telah kehilangan para ulama, lantas mereka menjadikan para pemimpin yang bodoh dan tidak punya ilmu sebagai tempat untuk merujuk dan bertanya masalah agama. Alih-alih mendapat petunjuk, yang terjadi justru mereka semakin jauh dari kebenaran, bahkan sesat dan malah menyesatkan banyak orang.

b. Hadits Fadhilah Orang Berilmu

Tentu kita sudah tidak asing lagi dengan hadits shahih riwayat Al Imam Muslim yang amat masyhur berikut ini:

“Orang yang meniti jalan dalam rangka menuntut ilmu agama, maka Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

“Dan para malaikat menaungi dengan sayap-sayap mereka kepada para penuntut ilmu sebagai tanda keridhaan dari mereka.” (HR. Muslim)

“Dan orang yang berilmu itu dimintakan ampunan oleh semua makhluk Allah yang ada di sekian banyak langit dan bumi, termasuk ikan-ikan yang ada di kedalaman lautan ikut memintakan ampun.” (HR. Muslim)

“Keutamaan seorang yang berilmu agama dibandingkan dengan seorang ahli ibadah seperti bulan di malam purnama dibandingkan semua planet (bintang).” (HR. Muslim)

“Dan sesungguhnya para ulama adalah para ahli waris dari para nabi, dimana para nabi memang tidak mewariskan dinar atau dirham, melainkan mereka mewariskan ilmu. Siapa yang menuntut ilmu maka dia telah mendapat warisan yang sangat besar nilainya.” (HR. Muslim)

Kalau kita teliti secara seksama hadits shahih di atas, betapa orang yang belajar menuntut ilmu dan juga orang yang memiliki ilmu dijanjikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam hadits ini dengan berbagai fadhilah, antara lain:

Dimudahkan jalannya menuju surga. Padahal semua orang nanti di hari kiamat akan kesulitan mendapatkan jalan yang mudah ke dalam surga. Bahkan banyak yang tertatih-tatih dan bersusah payah agar bisa sampai ke surga.
Para malaikat meridhai mereka dengan menaunginya dengan sayap-sayap mereka. Padahal malaikat adalah hamba-hamba Allah yang amat mulia lagi taat. Kalau sampai para malaikat meridhai, tentu hal itu menunjukkan betapa tingginya derajat orang yang berilmu.
Dosa-dosa orang yang menuntut ilmu dimintakan ampun oleh semua makhluk Allah Subhanahu Wa Ta’ala, baik yang ada di berbagai macam langit yang banyak itu, maupun makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menetap di atas bumi. Bahkan ikan-ikan yang hidup di kedalaman samudera luas pun ikut pula memintakan ampunan buat mereka.
Kelebihan orang yang berilmu dibandingkan orang bodoh yang tidak punya ilmu meski dia rajin ibadah diibaratkan seperti terangnya bulan purnama dengan terangnya bintang di kegelapan malam. Bulan purnama yang cahaya menerangi atmosfir langit kita ini tentu jauh berbeda dengan bintang yang di mata kita hanyalah titik kecil di langit yang hitam.
Orang yang berilmu adalah para ahli waris nabi. Mereka mewarisi harta kekayaan para nabi yang tidak berbentuk uang atau harta benda, melainkan kekayaan itu berupa ilmu yang tidak ternilai harganya. Maka mereka yang belajar ilmu agama dan mendapatkannya diibaratkan dengan orang yang mendapat warisan kekayaan yang sangat besar tidak ternilai harganya.
c. Perintah Belajar Faraidh

Di antara ilmu fiqih adalah masalah faraidh atau pembagian harta warisan. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam secara khusus telah memberikan perintah khusus untuk mempelajarinya dan sekalian juga beliau mewajibkan kita untuk mengajarkannya. Dalilnya sebagai berikut:

Dari A’raj radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,“Wahai Abu Hurairah, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah. Karena dia setengah dari ilmu dan dilupakan orang. Dan dia adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku.” (HR. Ibnu Majah, Ad Daruquthuny dan Al Hakim)

Karena mengajarkan itu tidak mungkin dilakukan kecuali setelah kita mengerti, maka hukum mempelajarinya harus didahulukan. Dan ilmu faraidh (pembagian harta warisan) termasuk salah satu bagian dalam ilmu fiqih.

B. Realitas

Kewajiban untuk belajar ilmu fiqih juga didukung berdasarkan f akta dan realitas yang ada di tengah kehidupan nyata. Semua menunjukkan atas keharusan kita umat Islam untuk mempelajari dan menguasai ilmu fiqih. Di antara realitas itu misalnya:

1. Ilmu Fiqih Bagian dari Identitas Ke-Islaman

Seorang Muslim dengan seorang non Muslim tidak dibedakan berdasarkan KTP-nya. Juga tidak dibedakan berdasarkan ras, darah, golongan, bahasa, kebangsaan atau keturunan tertentu. Tetapi yang membedakan antara kedua adalah berdasarkan apa yang diketahuinya tentang ajaran Islam serta diyakini kebenarannya.

Tidak mungkin seorang bisa dikatakan Muslim manakala dia tidak mengenal Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan tidak- lah seseorang mengenal Allah Subhanahu Wa Ta’ala, manakala dia tidak mengenal ajarAn Nya serta syariat yang telah diturunkAn Nya. Sehingga mengetahui ilmu-ilmu syariat merupakan bagian tak terpisahkan dari status keislaman seseorang.

Maka sudah seharusnya seorang Muslim menguasai ilmu syariah, karena syariat itu merupakan penjabaran serta uraian dari perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya. Setidak-tidaknya, meski pun tidak sampai ke level ulama atau mujtahid, minimal seorang Muslim tahu bagaimana cara bersuci, wudhu, shalat f ardhu, puasa, zakat dan hal-hal yang sifatnya pokok dan mendasar dari ilmu agama.

Sebab tanpa ilmu tentang semua hal itu, statusnya sebagai Muslim nyaris hanya tinggal formalitas belaka. Keislamannya boleh jadi hanya karena kebetulan belaka. Kebetulan orang tuanya Muslim, lahir di tengah keluarga Muslim, sehingga setidak-tidaknya KTP-nya ada tulisannya sebagai Muslim.

Tapi kalau dia tidak tahu bagaimana cara ibadah ritual kepada Allah, otomatis tidak tidak lagi disebut sebagai orang beriman, kecuali hanya sampai pada status.

2. Kunci Memahami Al Quran & As Sunnah

Sumber utama ajaran Islam adalah Al Quran yang terdiri dari lebih 6. 000-an ayat dan As Sunnah yang berjumlah ratusan ribu bahkan sampai jutaan.

Namun bagaimana mengambil kesimpulan hukum atas suatu masalah dengan menggunakan dalil-dalil yang sedemikian banyak, harus ada sebuah metodologi yang ilmiyah yang baku dan disepakati oleh umat Islam sepanjang zaman. Dan metodologi itu adalah ilmu fiqih.

Ilmu fiqih telah berhasil menjelaskan dengan pasti dan tepat tentang hukum-hukum yang terkandung pada tiap potong ayat dan hadits yang bertebaran. Dengan menguasai ilmu fiqih, maka Al Quran dan As Sunnah bisa dipahami dengan benar, tepat dan akurat, sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dahulu mengajarkannya.

Sebaliknya, tanpa penguasaan ilmu fiqih, Al Quran dan As Sunnah bisa diselewengkan dan dimanfaatkan dengan cara yang tidak benar. Ilmu fiqih adalah kunci untuk memahami Al Quran dan As Sunnah dengan metode yang benar, ilmiyah dan shahih.

Di dalam Al Quran disebutkan bahwa pencuri harus dipotong tangannya, pezina harus dirajam, pembunuh harus diqishash dan seterusnya. Memang demikian zahir nash ayat Al Quran. Namun benarkah semua pencuri harus dipotong tangannya? Apakah semua orang yang berzina harus dirajam? Apakah semua orang yang membunuh harus dibunuh juga?

Di dalam ilmu fiqih akan dijelaskan kriteria pencuri yang bagaimanakah yang harus dipotong tangannya. Tidak semua orang yang mencuri harus dipotong tangan. Ada sekian banyak persyaratan yang harus terpenuhi agar seorang pencuri bisa dipotong tangan. Misalnya barang yang dicuri harus berada dalam penjagaan, nilainya sudah memenuhi batas minimal, bukan milik umum dan lainnya. Bahkan kriteria seorang pencuri tidak sama dengan pencopet, jambret, penipu atau koruptor.

Demikian juga dengan pezina, tidak semua yang berzina harus dihukum rajam. Selain hanya yang sudah pernah menikah, harus ada empat orang saksi lakil-laki, akil, baligh, dan menyaksikan secara bersama di waktu dan tempat yang sama melihat peristiwa masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan. Tanpa hal itu, hukum rajam tidak boleh dilakukan. Kecuali bila pezina itu sendiri yang menyatakan ikrar dan pengakuan atas zina yang dilakukannya. Dan yang paling penting, hukum rajam haram dilakukan kecuali oleh sebuah institusi hukum formal yang diakui dalam sebuah negara yang berdaulat.

Dan hal yang sama juga berlaku pada hukum qishash dan hukum-hukum hudud lainnya. Sebuah tindakan hukum yang hanya berlandaskan kepada satu dua dalil tapi tanpa kelengkapan ilmu syariah justru bertentangan dengan hukum Islam sendiri.

3. Fiqih Adalah Porsi Terbesar Ajaran Islam

Dibandingkan dengan masalah aqidah, ahlaq atau pun bidang lainnya, masalah-masalah dalam ilmu fiqih menempati porsi terbesar dalam khazanah ilmu-ilmu ke-Islaman. Bahkan yang disebut dengan ulama itu lebih identik sebagai orang yang ahli di bidang ilmu fiqih ketimbang ahli di bidang lainnya.

Sehingga sebagai ilmu yang merupakan porsi terbesar dalam ajaran Islam, ilmu syariah ini menjadi penting untuk dikuasai. Seorang Muslim itu masih wajar bila tidak menguasai ilmu tafsir, hadits, bahasa Arab, Ushul Fqih, Kaidah Ushul dan lainnya. Tetapi khusus dalam ilmu syarriah khususnya fiqih, nyaris mustahil bila tidak dikuasai, meski dalam porsi yang seadanya. Sebab tidak mungkin kita bisa beribadah dengan benar tanpa menguasai ilmu fiqih ibadah itu sendiri.

Memang tidak semua detail ilmu syariah wajib dikuasai, namun untuk bagian yang paling dasar seperti masalah thaharah, shalat, nikah dan lainnya, mengetahui hukum-hukumnya adalah hal yang mutlak.

4. Tingginya Kedudukan Ulama

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah meninggikan derajat orang yang memiliki ilmu syariah dengan firmAn Nya:

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Mujadilah: 11)

Sehingga tampuk kepemimpinan skala mikro dan makro menjadi hak para ahli ilmu syariah. Seorang imam shalat diutamakan orang yang lebih mendalam pemahamannya (afqahuhum). Bukan yang lebih tua, sudah menikah, lebih senior dalam struktur pergerakan, lebih tenar atau lebih punya kepemiminan. Namun imam shalat hendaklah orang yang lebih faqih dalam masalah agama.

Demikian juga hal yang terkait dengan kepemimpinan umat, yang lebih layak diangkat adalah mereka yang lebih punya kepahaman terhadap syarait. Sejak masa shahabat dan 14 abad perjalanan umat, yang menjadi pemimpin umat ini adalah orang-orang yang paham dan mengerti syariah.

Paling tidak, para khalifah dalam sejarah Islam selalu didampingi oleh ulama dan ahli syariah

5. Terhindar Dari Perpecahan

Para ulama syariah terbiasa berbeda pendapat, karena berbeda hasil ijtihad sudah menjadi keniscayaan. Namun mereka sangat menghormati perbedaan diantara mereka.

Sehingga tidak saling mencaci, menjelekkan atau menafikkan. Sebaliknya, semakin awam seseorang terhadap ilmu syariah, biasanya akan semakin tidak punya mental untuk berbeda pendapat. Sedikit perbedaan di kalangan mereka sudah memungkinkan untuk terjadinya perpecahan, pertikaian, bahkan saling menjelekkan satu sama lain.

Hal itu terjadi karena seseorang hanya berpegangan kepada dalil yang sedikit dan parsial. Tetapi merasa sudah pandai dan paling benar sendiri. Padahal dalil yang diyakininya paling benar itu masih harus berhadapan dengan banyak dalil lainnya yang tidak kalah kuatnya. Jadi bagaimana mungkin dia merasa paling benar sendiri?

Paling tidak, dengan mempelajari ilmu syariah, kita jadi tahu bahwa pendapat yang kita pegang ini bukanlah satu-satunya pendapat. Di luar sana, masih ada pendapat lainnya yang tidak kalah kuatnya dan sama-sama bersumber dari kitab dan sunnah juga. Maka kita jadi memahami perbandingan mazhab di kalangan para fuqaha, sebab mereka memang punya kapasitas untuk melakukan istimbath hukum dengan masing-masing menhaj dan metodologinya

6. Menentukan Eksistensi Umat Islam

Agama Islam telah dijamin tidak akan hilang dari muka bumi sampai kiamat, namun tidak ada jaminan bila umatnya mengalami kemunduran dan kejatuhan. Sejarah membuktikan bahwa mundurnya umat Islam terjadi manakala para ulama telah wafat dan tidak ada lagi ahli syariah di tengah umat.

Sebaliknya, bila Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki kebaikan pada umat Islam, niscaya akan dimulai dari lahirnya para ulama dan kembali manusia kepada syariat-Nya.

7. Menahan Liberalisme, Sekulerisme, dan Pluralisme

Racun pemikiran Orientalis dan Sekuleris tidak akan mempan bila tubuh umat diimunisasi dengan pemahaman syariah yang mendasar dan matang.

Sebaliknya, bila tingkat pemahaman umat terhadap syariah asAl asalnya dan lemah, maka dengan mudah pemikiran orientalis akan merasuk dan menjangkiti fikrah umat. Sebaliknya, bila umat ini punya tingkat pemahaman yang mendalam terdapat ilmu syariah, semua tipu daya itu akan menjadi mentah.

Pemahaman syariat Islam akan menjadi filter atas kerusakan fikrah umat. Sebaliknya, semakin awam dari syariat, umat ini akan semakin menjadi bulan-bulanan pemikiran yang merusak.

8. Obat Ekstrimisme

Sikap-sikap ekstrim dan keterlaluan dalam pelaksanaan agama seringkali menimpa banyak umat Islam. Barangkali niatnya sudah baik, yaitu ingin menjalankan ajaran agama.

Tetapi bila semangat itu tidak diiringi dengan ilmu syariah yang benar, sangatbesar kemungkinan terjadi kesalahan fatal yang merugikan.

Dahulu di masa shahabat ada seorang yang terluka di kepala. Seharusnya dia tidak boleh mandi karena parah sakitnya. Namun dia berjunub pada malamnya dan pagi hari dia bertanya kepada temannya, apakah dia harus mandi atau tidak. Temannya mengatakan bahwa dia harus mandi. Lalu mandilah dia dan tidak lama kemudian meninggal.

Betapa sedih Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tatkala mendengar kabar itu. Sebab teman yang memberi fatwa itu bertindak tanpa ilmu dan menyebabkan kematian.

Padahal seharusnya dalam kondisi demikian, cukuplah dengan bertayammum saja. Maka dia sudah boleh shalat. Tidak wajib mandi junub meski malamnya keluar mani.

9. Implementasi Islam Kaaffah

Sebagai Muslim yang baik, komitmen dan konsisten dalam memeluk agama Islam, tentu kita tahu bahwa kita wajib menerima Islam secara kaaffah, tidak sepotong-sepotong. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan hal dalam firmAn Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al Baqarah: 208)

Tapi bagaimanakah kita bisa menjalankan Islam secara kaaffah, kalau kita tidak bisa membedakan manakah diantara perbuatan itu yang termasuk bagian dari Islam atau bukan?

Sebab seringkali kita dihadapkan kepada bentuk-bentuk pengamalan yang disinyalir sebagai islami, tetapi kita tidak tahu kedudukan yang sesungguhnya. Katakanlah sebagai contoh mudah misalnya tentang memahami perbuatan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Apakah semua hal yang dilakukan oleh beliau itu menjadi bagian langsung dari syariat agama ini? Ataukah ada wilayah yang tidak termasuk bagian dari syariat? Lebih rinci lagi, kita dapati dalam hadits bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam naik unta, minum susu kambing mentah, istinja` dengan batu, khutbah memegang tongkat, di rumahnya tidak ada WC dan seterusnya.

Apakah hari ini kita wajib melakukan hal yang sama dengan beliau sebagai pengejawantahan bahwa Rasululah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah suri teladan?

Apakah kita hari ini juga harus naik unta, sebagai pengganti mobil dan pesawat, hanya karena ingin mengikuti jejak Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang berangkat haji naik unta?

Haruskah kita minum susu kambing yang tidak dimasak dahulu, karena beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam suka sekali minum susu kambing tanpa dimasak?

Apakah para khatib Jumat wajib berkhutbah sambil memegang tongkat, karena dahulu beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkhutbah sambil memegang tongkat?

Dan tegakah kita berintinja’ tanpa air tetapi diganti dengan batu, karena Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berintinja’ dengan batu?

Dan haruskah kita buang air di alam terbuka, karena dahulu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya di alam terbuka dan tidak ada kamar mandi?

Tentu kita perlu merinci lebih detail, manakah dari semua perbuatan dan perkataan beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menjadi bagian dari syariah dan mana yang secara kebetulan menjadi hal-hal teknis yang tidak perlu dimasukkan ke dalam ajaran agama ini. Dan untuk itu, harus ada sebuah metodologi yang bisa dijadikan patokan.

Metodologi itu adalah syariat Islam.

Tugas ilmu fiqih adalah bagaimana caranya agar kita bisa memilah dan menentukan manakah dari diri Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang menjadi bagian dari ajaran Islam, dan manakah yang bukan termasuk ajaran selain hanya faktor kebetulan dan teknis semata, sehingga tidak harus dijadikan tuntunan.

Semua itu membutuhkan ilmu yang didasarkan kepada sesautu aturan yang baku, bukan sekedar pemikiran sesaat, yang boleh jadi nanti berubah-ubah.

Dan ilmu itu tidak lain adalah ilmu fiqih, yang telah eksis di dunia Islam sepanjang 14 abad lamanya, menjadi penerang bagi umat Islam dalam berpegang kepada Al Quran dan As Sunnah.

Penutup

Itulah beberapa hal yang perlu kita renungkan bersama. Betapa syariat Islam ini memang perlu kita pelajari dengan sebaik-baiknya. Tidak perlu menunggu dan membuang waktu.

Sekaranglah waktu yang tepat untuk mulai belajar. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan jalan kita masuk surga karena kita telah menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu keislaman selama di dunia ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar